Karang Taruna adalah organisasi kepemudaan yang sudah lama menjadi wadah pembinaan, pemberdayaan, dan pengabdian sosial di tingkat komunitas. Dengan anggota yang berasal dari kalangan pemuda desa dan kelurahan, Karang Taruna memainkan peran penting dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial sekaligus menjaga semangat solidaritas dan kepeloporan generasi muda. Namun, perubahan sosial, perkembangan teknologi, dan dinamika politik menuntut organisasi ini untuk beradaptasi dan memperkuat diri.

Lahirnya Peraturan Menteri Sosial (Permensos) No. 9 Tahun 2025 menjadi tonggak penting untuk mempertegas posisi Karang Taruna. Regulasi ini merupakan perubahan atas Permensos No. 25 Tahun 2019, dengan penekanan pada penguatan kelembagaan, kejelasan struktur, serta tata hubungan dengan pemerintah. Aturan baru ini tidak hanya memberikan legitimasi yang lebih kuat, tetapi juga menjadi arah baru bagi Karang Taruna untuk tampil lebih profesional dan relevan dengan tantangan zaman.

Pokok Perubahan Dalam Permensos No. 9 Tahun 2025

  1. Definisi Anggota Karang Taruna (Pasal 1 angka 9 dan Pasal 18 ayat 1)
    Karang Taruna kini memiliki istilah resmi Warga Karang Taruna, yaitu setiap pemuda berusia 16–30 tahun yang otomatis menjadi anggota melalui sistem stelsel pasif. Dengan ini, Karang Taruna bersifat inklusif, menampung semua pemuda desa dan kelurahan.
  2. Ruang Lingkup dan Prinsip Dasar (Pasal 1A dan Pasal 2)
    Karang Taruna ditegaskan sebagai potensi sumber daya kesejahteraan sosial. Prinsip dasar yang harus dipegang meliputi kepahlawanan, kejuangan, kearifan lokal, kesetiakawanan sosial, kemandirian, kebersamaan, partisipasi, serta nonpartisan.
  3. Kedudukan Karang Taruna (Pasal 5 ayat 2). Karang Taruna berkedudukan di desa dan kelurahan, menegaskan basis organisasi di tingkat komunitas.
  4. Pembentukan Unit Teknis (Pasal 17 ayat 2–4)
    Pengurus dapat membentuk unit teknis sesuai kebutuhan, misalnya di bidang sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, seni dan budaya, olahraga, hingga hukum. Di tingkat desa dan kelurahan, pembentukan unit teknis harus disepakati melalui musyawarah desa.
  5. Struktur Kepengurusan (Pasal 19 dan Pasal 19A)
    Susunan kepengurusan berjenjang mulai dari desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Hubungan tata kerja antarlevel bersifat koordinatif, konsultatif, konsolidatif, komunikatif, kolaboratif, dan harmonis.
  6. Mekanisme Pemilihan dan Penetapan Pengurus (Pasal 20–20H)
    Ketua Karang Taruna desa dipilih melalui musyawarah lalu ditetapkan oleh kepala desa/lurah (Pasal 20A–20B). Ketua tingkat kecamatan hingga nasional dipilih dalam temu karya dan ditetapkan/dikukuhkan oleh pejabat pemerintah terkait (Pasal 20C–20F). Hal ini menciptakan dual legitimasi: pengakuan dari organisasi dan pengesahan formal pemerintah. Masa bakti kepengurusan ditetapkan selama 5 tahun (Pasal 20G).
  7. Syarat Usia Pengurus (Pasal 20 ayat 1 huruf b). Pengurus tingkat nasional: minimal 30 tahun. Pengurus tingkat provinsi: minimal 25 tahun. Pengurus tingkat kabupaten/kota: minimal 20 tahun. Pengurus tingkat kecamatan: minimal 17 tahun. Selain itu, pengurus wajib berdomisili minimal 2 tahun di wilayahnya, aktif di kegiatan sosial, berkomitmen pada pemberdayaan, dan memiliki kemampuan berorganisasi.
  8. Larangan Politik (Pasal 20 ayat 2)
    Pengurus di tingkat desa dan kelurahan dilarang menjadi anggota partai politik, untuk menjaga independensi organisasi dari kepentingan praktis.
  9. Temu Karya Karang Taruna (Pasal 20H)
    Pelaksanaan temu karya diatur lebih jelas. Contohnya, temu karya tingkat kecamatan harus mendapat persetujuan pengurus kabupaten/kota, dan temu karya provinsi harus mendapat persetujuan pengurus nasional. Ini memastikan koordinasi antarlevel berjalan teratur.
  10. Pedoman Operasional Nasional (Pasal 21)
    Pengurus nasional wajib menyusun pedoman operasional pelaksanaan tugas dan fungsi Karang Taruna yang disahkan dalam temu karya nasional. Pedoman ini menjadi standar baku bagi semua tingkatan.
  11. Majelis Pertimbangan Karang Taruna (Pasal 22 dan Pasal 22A)
    Dibentuk majelis pertimbangan yang beranggotakan mantan pengurus, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah, hingga pelaku usaha. Majelis ini memiliki kepengurusan minimal terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota. Di tingkat nasional, majelis ditetapkan langsung oleh Menteri.
  12. Pembina Karang Taruna (Pasal 36–40)
    Terdapat dua kategori pembina: Pembina umum: Mendagri, gubernur, bupati/wali kota, camat. 
    Pembina teknis: Menteri Sosial, kementerian terkait (desa, daerah tertinggal, pemuda/olahraga), serta dinas sosial provinsi/kabupaten/kota.
    Peran mereka mencakup pembinaan, fasilitasi, koordinasi, dan dukungan teknis sesuai level masing-masing.
  13. Tanggung Jawab Pemerintah (Pasal 41–43)
    Menteri, gubernur, serta bupati/wali kota tidak hanya mengesahkan pengurus, tetapi juga wajib mengalokasikan anggaran, melibatkan Karang Taruna dalam program pembangunan, memberikan penghargaan, serta melakukan pendataan organisasi.
  14. Tanggung Jawab Pengurus (Pasal 43A)
    Pengurus Karang Taruna diwajibkan melaksanakan pedoman operasional, memenuhi standar yang berlaku, mendorong pemberdayaan, menjalin jejaring kerja, melakukan pelaporan, serta mendukung program pemerintah.

Peluang dan Tantangan Kedepan

Perubahan regulasi ini membawa peluang besar bagi Karang Taruna untuk memperkuat kiprah sosialnya. Dengan status sebagai potensi sumber daya kesejahteraan sosial, Karang Taruna kini memiliki legitimasi yang lebih kokoh untuk bermitra dengan pemerintah. Akses terhadap program, pelatihan, hingga alokasi anggaran menjadi lebih terbuka. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana organisasi ini mampu mengelola kesempatan tersebut dengan inisiatif, inovasi, dan program nyata yang sesuai kebutuhan masyarakat.

Namun, aturan baru juga menghadirkan tantangan administratif. Mekanisme penetapan kepengurusan yang melibatkan banyak pihak menuntut pengurus Karang Taruna lebih memahami birokrasi dan hukum. Proses ini bisa terasa panjang, tetapi justru memperkuat posisi organisasi karena kepengurusan tidak hanya diakui secara internal, tetapi juga sah secara formal oleh pemerintah. Profesionalitas dalam tata kelola organisasi menjadi syarat mutlak agar Karang Taruna mampu mengimbangi tuntutan tersebut.

Penegasan larangan bagi pengurus desa dan kelurahan untuk menjadi anggota partai politik patut diapresiasi sebagai upaya menjaga independensi. Tetapi tantangan menjaga netralitas tidak bisa dianggap ringan, mengingat tarik-menarik politik di tingkat lokal sering kali kuat. Karang Taruna harus konsisten menunjukkan jati dirinya sebagai organisasi nonpartisan, yang berdiri di atas semua golongan dan tetap fokus pada kepentingan sosial masyarakat.

Syarat usia pengurus yang diatur secara berjenjang menunjukkan adanya sistem kaderisasi yang lebih terarah. Pemuda di tingkat kecamatan sudah bisa memimpin sejak usia 17 tahun, sementara di tingkat nasional minimal 30 tahun. Ini menciptakan jenjang yang logis: semakin tinggi level kepengurusan, semakin dibutuhkan kematangan usia dan pengalaman. Ketentuan ini akan mendorong regenerasi kepemimpinan sekaligus memastikan bahwa organisasi memiliki pemimpin yang siap secara kapasitas dan pengalaman.

Peluang inovasi semakin terbuka dengan kewenangan membentuk unit teknis. Karang Taruna kini tidak hanya identik dengan lomba seremonial, melainkan dapat mengembangkan program produktif. Unit ekonomi dapat membantu UMKM, unit digital melatih anak muda di bidang teknologi, unit hukum memberikan penyuluhan kenakalan remaja, dan unit sosial memperkuat kesiapsiagaan bencana. Dengan demikian, Karang Taruna dapat benar-benar menjadi pusat solusi masalah sosial di tingkat komunitas.

Masa bakti lima tahun memberikan ruang bagi program jangka menengah, tetapi juga menuntut adanya regenerasi agar organisasi tidak stagnan. Kaderisasi harus berjalan terus-menerus sehingga setiap periode melahirkan pemimpin baru yang mampu melanjutkan estafet organisasi. Keberhasilan Karang Taruna ke depan akan sangat ditentukan oleh seberapa kuat proses kaderisasi ini berjalan.

Kehadiran majelis pertimbangan bisa menjadi kekuatan jika difungsikan sebagai wadah mentoring. Pertemuan antara pengalaman senior dan energi generasi muda harus menjadi sinergi yang saling melengkapi. Namun, perlu dijaga agar majelis tidak mendominasi arah organisasi. Sinergi yang sehat akan memastikan Karang Taruna tetap inovatif sekaligus berpijak pada nilai dan tradisi yang kuat.

Dari sisi pemerintah, regulasi ini menuntut komitmen yang lebih jelas. Bukan hanya memberi pengesahan, tetapi juga pembinaan, fasilitasi, hingga dukungan anggaran. Dengan peran aktif pemerintah daerah, Karang Taruna tidak lagi dipandang sekadar organisasi kepemudaan, melainkan bagian penting dari strategi pembangunan sosial.

Secara keseluruhan, Permensos No. 9 Tahun 2025 membuka jalan bagi Karang Taruna untuk tampil lebih kuat, profesional, dan relevan. Peluang besar telah tersedia, tinggal bagaimana pengurus di semua tingkatan mampu menjawab tantangan dengan kesungguhan, kemandirian, dan inovasi. Jika hal itu bisa diwujudkan, Karang Taruna benar-benar akan menjadi motor penggerak kesejahteraan sosial di tingkat akar rumput, sekaligus mitra strategis pemerintah dalam membangun masyarakat yang lebih sejahtera. (Admin)