Di tengah derasnya arus digital yang membentuk pola pikir generasi muda, kita menyaksikan paradoks yang mencolok. Pemuda Indonesia hari ini adalah generasi yang paling terhubung dengan dunia, paling cepat mengakses informasi, dan paling lantang menyuarakan isu-isu global. Namun di balik keriuhan itu, ada jurang sunyi yang semakin dalam: jurang antara kesadaran dan tindakan. Kita mudah mengunggah poster tentang kemanusiaan di media sosial, tetapi sering ragu turun tangan ketika tetangga kita sendiri sedang kesulitan. Di ruang maya kita ramai membicarakan solidaritas; di dunia nyata kita makin asing dengan wajah-wajah yang membutuhkan uluran tangan. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya,” kata Bung Karno. Hari ini kita perlu menambahinya: bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai martabat manusia di sekitarnya. Fenomena ini bukan sekadar kelemahan individu, melainkan gejala zaman. Teknologi memberi kita kecepatan, tetapi sering merampas kedalaman. Kita tahu ada anak-anak jalanan yang kehilangan hak pendidikan, lansia yang hidup sebatang kara, penyandang disabilitas yang bergulat dengan stigma, bahkan korban kekerasan yang seolah lenyap di balik angka statistik. Pemerintah menyebut mereka sebagai Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS)—istilah formal yang jarang diucapkan pemuda di percakapan sehari-hari. Padahal, di balik istilah itu ada manusia dengan cerita panjang, luka yang nyata, dan harapan yang rapuh. Mereka bukan sekadar daftar kategori dalam dokumen kementerian, melainkan cermin yang memantulkan sejauh mana kita peduli.

Sejak lama pemuda dielu-elukan sebagai agen perubahan. Namun “agen perubahan” bukanlah gelar otomatis yang lahir hanya karena kita muda; ia adalah pilihan sadar untuk peduli dan bertindak. “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia,” ucap Bung Karno yang sering kita dengar di pelajaran sejarah. Kalimat ini bukan sekadar slogan; ia menegaskan bahwa energi pemuda adalah energi perubahan. Di titik inilah organisasi seperti Karang Taruna menjadi penting. Karang Taruna bukan sekadar forum rapat rutin atau seremoni tahunan. Ia adalah laboratorium kepedulian sosial—ruang di mana pemuda belajar mendengar, memahami kebutuhan masyarakat, merancang program yang tepat sasaran, bahkan berinovasi dengan bahasa zaman: media sosial, desain kreatif, dan kampanye digital. Sayangnya, di banyak tempat Karang Taruna terjebak stigma “kuno” atau “kurang relevan”, sehingga daya tariknya merosot di mata anak muda. Padahal, jika kita menghidupkan kembali jiwa Karang Taruna dengan cara yang segar, ia bisa menjadi jembatan nyata antara pemuda dan kelompok rentan seperti PPKS. Bayangkan jika Karang Taruna di setiap desa bukan hanya mengadakan lomba tujuh belasan, tetapi juga menginisiasi beasiswa kecil untuk anak yatim, membuka pelatihan keterampilan bagi remaja putus sekolah, atau menggandeng penyandang disabilitas untuk tampil di ruang publik. Dengan strategi yang tepat, Karang Taruna bisa kembali menjadi pusat energi sosial pemuda.

Budaya kita sendiri juga sedang diuji. Gotong royong yang dulu menjadi identitas bangsa kini sering tinggal slogan. Kita lebih cepat mengulurkan jempol untuk like ketimbang tangan untuk membantu. Individualisme dan konsumerisme yang menguat perlahan mengikis rasa kebersamaan. Survei BPS 2023 misalnya menunjukkan tren penurunan partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosial berbasis komunitas dibanding satu dekade lalu. Angka ini bukan hanya statistik; ia menggambarkan perubahan mentalitas yang nyata. Ki Hajar Dewantara pernah menulis, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” — di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan. Kalimat ini seolah mengingatkan pemuda: kita tidak boleh hanya menonton perubahan sosial dari jauh, tetapi harus turun tangan, berada “di tengah”, membangun karsa dan semangat bersama masyarakat. Jika tren kepedulian ini terus menurun, pemuda akan tumbuh menjadi generasi yang terinformasi tetapi terisolasi—menguasai data tetapi miskin empati. Ini bukan sekadar ancaman moral, melainkan ancaman bagi keberlanjutan bangsa. Sebab bangsa yang besar tidak hanya dibangun oleh kebijakan negara, tetapi juga oleh karakter sosial warganya.

Namun bukan berarti semua suram. Kita masih punya ruang besar untuk berubah. Membangun kesadaran sosial tidak harus dimulai dari langkah besar. Ia bisa dimulai dari hal-hal sederhana: peduli pada teman yang kesulitan, menjadi relawan dalam kegiatan lokal, mendukung kampanye sosial daring, atau memanfaatkan keterampilan pribadi—menulis, desain grafis, fotografi—untuk mengangkat kisah mereka yang jarang terdengar. Desainer grafis bisa membuat poster edukasi tentang PPKS; penulis bisa menulis kisah inspiratif mereka; pembuat konten bisa memviralkan gerakan sosial. Ketika langkah-langkah kecil ini dilakukan bersama, ia akan menjadi budaya baru: empati digital yang bertransformasi menjadi empati nyata. Inilah titik di mana pemuda tidak hanya menjadi penerus program pemerintah, tetapi pencipta gagasan segar yang lebih dekat dengan realitas. “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negara,” kata John F. Kennedy. Bagi pemuda kita hari ini, kalimat itu bisa dimaknai lebih luas: jangan hanya bertanya apa yang negara atau masyarakat beri kepadamu, tetapi tanyakan apa yang kamu beri kepada mereka yang paling lemah.

Yang lebih penting, kita harus mengubah cara pandang kita terhadap kelompok rentan. Mereka bukan beban negara, melainkan potensi kemanusiaan yang bisa tumbuh jika diberi kesempatan. Kita bisa belajar keberanian dari mereka yang bertahan hidup di jalanan, ketabahan dari lansia yang ditinggalkan keluarga, kreativitas dari penyandang disabilitas yang tetap berkarya meski dalam keterbatasan. Mengakui kemanusiaan mereka berarti memulihkan kemanusiaan kita sendiri. Kesadaran ini bukan hanya moralitas kosong; ia adalah investasi sosial. Pemuda yang terbiasa peduli akan tumbuh menjadi pemimpin yang peka, inovatif, dan adil. Dalam konteks pembangunan bangsa, inilah modal sosial yang tak ternilai. Negara bisa membuat kebijakan, tetapi tanpa pemuda yang peduli kebijakan itu tak akan pernah hidup di akar rumput. Seperti kata Soedjatmoko, intelektual dan diplomat Indonesia, “Kita memerlukan pembangunan yang berwajah manusia.” Wajah manusia itu bukan sekadar data statistik, tetapi wajah-wajah PPKS yang kita temui sehari-hari.

Esai ini tidak menawarkan jawaban final. Justru ia ingin membuka ruang dialog di kalangan pemuda: bagaimana kita menyeimbangkan dunia digital dan nyata, ambisi pribadi dan kepedulian sosial? Bagaimana kita memastikan Karang Taruna dan gerakan pemuda lainnya menjadi lokomotif perubahan yang inklusif, bukan sekadar nama? Bagaimana kita mendekatkan program-program formal seperti perlindungan sosial dengan kreativitas anak muda? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk dijawab dalam satu pertemuan, melainkan untuk ditumbuhkan menjadi diskursus bersama yang melahirkan tindakan kolektif. Di sinilah peran pemuda sebagai penggerak ide menjadi penting—bukan sekadar menjadi objek program pemerintah, tetapi subjek yang menyusun dan menguji gagasan baru. Di tengah dunia yang cepat berubah, kita butuh generasi yang tak hanya kritis di layar, tetapi juga konkret di lapangan.

Karena pada akhirnya, wajah kemanusiaan bangsa ini bukan hanya ditentukan oleh kebijakan negara, tetapi juga oleh sikap kita sehari-hari. Jika pemuda memilih peduli, kita sedang menyalakan obor perubahan. Jika pemuda memilih diam, kita sedang membiarkan retakan itu melebar. Kita tidak bisa menunggu orang lain untuk memulai. Saatnya kita, generasi muda, menemukan kembali nurani sosial kita—tidak hanya untuk menyelamatkan mereka yang rentan, tetapi juga untuk menyelamatkan jiwa bangsa ini sendiri. Karena di pundak kita, wajah kemanusiaan itu akan tampak: apakah ia akan tetap retak, atau kita pulihkan bersama. (Admin)